Ads 468x60px

Jumat, Februari 20, 2009

KALI KOTA

Sungai atau biasa dikenal pula oleh masyarakat perkotaan Indonesia dengan sebutan kali identik dengan permukiman kumuh, tempat pembuangan sampah dan sederetan aktivitas yang mengandung kesan buruk. Padahal jika kita menengok sekilas dari layar kaca televisi, bagaimana sungai-sungai atau kali di negara-negara eropa atau amerika, ditata dengan keasrian yang sangat alami. Daerah sempadan sungai menjadi tempat rekreasi, berolahraga dan beragam aktivitas lainya. Satu fenomena yang dapat dipotret di sini adalah bahwa jika di negara-negara maju, properti yang mengambil tempat di sekitar sungai pasti mempunyai nilai yang sangat tinggi karena mengutamakan nilai view ke arah sungai sebagai nilai jual kepada calon penggunanya, sedangkan sebaliknya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, daerah sempadan sungai justru digunakan oleh kelompok masyarakat bawah, kaum urban miskin di kota. Akibatnya, air sungai menjadi sangat keruh (kalau tidak mau disebut berwarna hitam pekat) dan berbau yang sangat menyengat. Sedangkan kaum menengah ke atas dan kaum elit kota lebih banyak mengambil lahan permukiman di daerah hulu kota yang umumnya merupakan daerah tangkapan air berupa hutan lindung atau konservasi yang diubah menjadi kawasan villa dan permukiman mewah. Nilai jual utama yang dijual dari pengembangan properti ini adalah suhu udara di pinggiran kota yang umumnya cenderung masih sejuk.
Secara logis, ketika musim penghujan datang air hujan yang jatuh lebih banyak yang menjadi aliran permukaan ketimbang aliran bawah tanah. Akumulasi debit aliran dari hulu yang datang tersebut tak dapat ditampung oleh jaringan aliran sungai yang melewati suatu kota karena tersumbatnya penampang sungai oleh tumpukan berbagai macam sampah. Dapat dipastikan terjadilah peristiwa banjir dan segala hiruk pikuk penanganannya. Sebenarnya jika mau dicari siapa yang salah, kedua-duanya salah, baik yang memilih bertempat tinggal di pinggiran sungai maupun di pinggiran kota. Namun, apapun itu tidak pernah ada kata terlambat untuk mengubah pola bertempat tinggal yang ada. Hanya perlu dibutuhkan kesadaran dan tentunya tindakan nyata dari segenap komponen masyarakat tanpa terkecuali untuk mengubahnya. Perubahan itu Perlu (=Surya Slims. hehe)

0 komentar:

Posting Komentar