Ads 468x60px

Jumat, Februari 20, 2009

PAMERAN FOTO CALEG-SEBUAH CUPLIKAN FENOMENA

Menjelang Pemilihan Umum kota-kota di Indonesia penuh sesak dengan berbagai atribut reklame dari berbagai parpol dan caleg yang memamerkan foto dengan tampang manisnya masing-masing. Ada yang memasang susunan giginya yang teratur, ada yang mengusung nama anaknya yang menjadi artis di ibukota negara, ada yang bergaya menunjuk ke arah persawahan (biar kelihatan perhatian terhadap petani), ada pula yang mengandalkan senyum memikatnya. Tak lupa desain poster dan baliho diselingi dengan slogan dan perkataan yang bombastis. Hehe. Kalau dipikir-pikir, ramainya baliho dan poster parpol dan para caleg ini tak lebih dari sekedar pameran foto saja. Kita Cuman disuguhin mana kandidat yang wajahnya lumayan, mana yang pas-pasan, mana yang wah, juga cuman sekadar kata-kata hiburan karena biasanya mereka para caleg memakai kata-kata yang agak nyeleneh untuk mengundang simpati publik yang melihat ke arah baliho dan poster mereka.
Komunikasi politik yang coba dibangun oleh para politisi ini tak lain hanya sekadar pameran foto, karena rakyat tak mengenal para kandidat tersebut lebih jauh, utamanya apa tindakan nyata yang telah dilakukannya untuk membantu rakyat di sekitarnya. Bahkan, untuk sekadar membedakan dari partai mana si caleg berasal seringkali masyarakat tak hafal, dikarenakan banyaknya warna-warni partai, apalagi mengingat nomor urut dan nomor urut partai. Hehe.
Dari segi elemen estetika kota, jelas keberadaan reklame pemilu di kota-kota Indonesia sudah sangat menurunkan citra estetika kota. Dinding-dinding pinggir jalan, pohon-pohon tak luput dari tempelan reklame. Grafiti musiman. Hehe.

GOT-TO FLOOD

Hehe. Judul di atas bukan sekadar judul, bukan judul sebuah lagu bukan pula sebuah iklan atau slogan. Got di tingkatan masyarakat awam dikenal luas sebagai saluran drainase yang biasa dibangun di setiap pinggir halaman rumah. Fungsinya, jelas untuk mengalirkan air hujan atau air buangan rumah tangga menuju ke saluran drainase utama kota atau ke sungai-sungai terdekat. Namun, pada kenyataannya got dengan fungsinya tersebut hanya menjadi sebagai ‘pelengkap’ (hiasan) dibangunnya sebuah properti. Banyak lahan dengan fungsi permukiman di kota-kota Indonesia-negara kita yang tidak dilengkapi dengan got yang memadai kondisinya. Sehingga pada waktu curah hujan yang turun berlebihan terjadilah banjir (flood).
Sesungguhnya jika kita menilik kepada zat apa yang diwadahi oleh sebuah ‘got’ maka kita akan mendapati sebuah zat alir. Selanjutnya, kata kunci yang kita peroleh adalah ‘alir’. Kata tersebut mengindikasikan bahwa suatu got harus dapat mengalirkan sesuatu yang berada di dalamnya. Logikanya jika hal ini tak dapat dilakukan maka akan terjadi genangan yang pada akumulasinya menyebabkan banjir besar yang melanda kota. Hehe, akhir kata mulailah dari diri kita sendiri (dari skala rumah tangga), dari hal-hal terkecil di sekitar kita (ya, seperti ‘got’ itu) dan dari sekarang. Life’s good.

KALI KOTA

Sungai atau biasa dikenal pula oleh masyarakat perkotaan Indonesia dengan sebutan kali identik dengan permukiman kumuh, tempat pembuangan sampah dan sederetan aktivitas yang mengandung kesan buruk. Padahal jika kita menengok sekilas dari layar kaca televisi, bagaimana sungai-sungai atau kali di negara-negara eropa atau amerika, ditata dengan keasrian yang sangat alami. Daerah sempadan sungai menjadi tempat rekreasi, berolahraga dan beragam aktivitas lainya. Satu fenomena yang dapat dipotret di sini adalah bahwa jika di negara-negara maju, properti yang mengambil tempat di sekitar sungai pasti mempunyai nilai yang sangat tinggi karena mengutamakan nilai view ke arah sungai sebagai nilai jual kepada calon penggunanya, sedangkan sebaliknya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, daerah sempadan sungai justru digunakan oleh kelompok masyarakat bawah, kaum urban miskin di kota. Akibatnya, air sungai menjadi sangat keruh (kalau tidak mau disebut berwarna hitam pekat) dan berbau yang sangat menyengat. Sedangkan kaum menengah ke atas dan kaum elit kota lebih banyak mengambil lahan permukiman di daerah hulu kota yang umumnya merupakan daerah tangkapan air berupa hutan lindung atau konservasi yang diubah menjadi kawasan villa dan permukiman mewah. Nilai jual utama yang dijual dari pengembangan properti ini adalah suhu udara di pinggiran kota yang umumnya cenderung masih sejuk.
Secara logis, ketika musim penghujan datang air hujan yang jatuh lebih banyak yang menjadi aliran permukaan ketimbang aliran bawah tanah. Akumulasi debit aliran dari hulu yang datang tersebut tak dapat ditampung oleh jaringan aliran sungai yang melewati suatu kota karena tersumbatnya penampang sungai oleh tumpukan berbagai macam sampah. Dapat dipastikan terjadilah peristiwa banjir dan segala hiruk pikuk penanganannya. Sebenarnya jika mau dicari siapa yang salah, kedua-duanya salah, baik yang memilih bertempat tinggal di pinggiran sungai maupun di pinggiran kota. Namun, apapun itu tidak pernah ada kata terlambat untuk mengubah pola bertempat tinggal yang ada. Hanya perlu dibutuhkan kesadaran dan tentunya tindakan nyata dari segenap komponen masyarakat tanpa terkecuali untuk mengubahnya. Perubahan itu Perlu (=Surya Slims. hehe)

TROTOAR

Kita semua pasti mengenal apa yang disebut dengan trotoar, jalur bagi pejalan kaki di kanan kiri pinggir jalan. Jalur ini sangat berguna untuk melindungi para pejalan kaki dari lalu lalang kendaraan bermotor di kota. Faktanya, jalur trotoar di kota saat ini sudah kehilangan fungsinya, selain selalu berpola putus nyambung karena terpotong jalur keluar kendaraan dari tiap kapling properti di sebelah luarnya, jalur trotoar juga dipakai oleh banyak masyarakat kelas bawah sebagai tempat berjualan, berdagang atau dikenal pula dengan istilah pedagang kaki lima (PKL). Akibatnya tiap kali kita berjalan di atas trotoar akan mengalami pola gerak yang berkesan, yaitu naik turun dan berbelok. Hehe. Pertama, naik turun karena putusnya jalur trotoar dengan jalur sirkulasi kendaraan keluar dari suatu kapling pinggir jalan. Kedua, berbelok karena badan trotoar digunakan para PKL sebagai tempat memasak dagangan mereka atau sebagai tempat duduk para pembeli, akhirnya pejalan kaki harus memutar ke depan warung tenda PKL, hal ini terakhir ini berbahaya karena berpapasan dengan lalu lintas kendaraan yang lewat di ruas jalan tersebut.
Fenomena di atas tersebut, mengakibatkan kenyamanan kawasan kota tersebut, khususnya bagi masyarakat pejalan kaki (yang tidak memiliki kendaraan seperti kelompok masyarakat lainnya) semakin termarjinalkan. Mereka semakin kekurangan aksesibilitas dalam pergerakan dalam kota. Trotoar yang mereka punyai sebagai fasilitas andalan dalam bergerak kini telah di ‘traktor’ in oleh kepentingan lain yang lebih besar demand-nya. Dalam disiplin ilmu arsitektur, pasti bisa dicarikan desain trotoar yang bisa mengakomodir berbagai kepentingan yang menggunakan trotoar. Bagi para stakeholder kota, ini merupakan salah satu hal kecil dalam penataan kota, namun jika diperhatikan dan ditindaklanjuti penataannya, yakinlah hal tersebut akanmemberikan dorongan yang besar dalam meningkatkan vitalitas kota :). Hehe. Semoga.

HUTAN KOTA

Dalam suatu kota modern berwawasan lingkungan hutan kota merupakan elemen penting. Bentuknya sebagai bagian dari ruang terbuka (open spaces) memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi kehidupan penduduk yang mendiami suatu kota. Fungsi lingkungannya pun memberikan nilai yang besar, dari indikator dan penyeimbang suhu kota, tempat berkembangbiaknya plasma nutfah, habitat bagi beragam spesies hingga fungsi estetika dalam mempercantik arsitektur kota. Hutan kota yang dibangun dengan baik dapat pula menjadi tempat interaksi para penduduk kota sehingga menghasilkan kota yang lebih manusiawi.
Sayangnya dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, peran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan bentuk hutan kota ini masih menjadi sesuatu yang sangat sukar untuk diwujudkan. Tarik ulur kepentingan dengan nafsu kaum kapitalis menyebabkan kota lebih mirip ‘hutan beton’ ketimbang hutan kota. Di negara kita tercinta ini ada semacam program yang tiap tahun dijalankan pemerintah pusat untuk mendorong tiap pemerintah kota/daerah menciptakan suasana kota yang lebih berwawasan lingkungan, nama program yang sudah kerap didengar masyarakat tersebut adalah penghargaan adipura. Hanya saja program ini terkesan kuat diperuntukkan untuk kota yang ‘bersih’ sedangkan untuk kota yang berhasil mewujudkan ‘kota dalam taman’ belum mendapatkan kategori penghargaan secara layak.
Kebanyakan masyarakat awam menganggap hutan kota hanya berupa taman kota saja, padahal hutan kota memiliki banyak variasi bentuk. Salah satu konsep utama yang sangat aplikatif untuk diterapkan pada kota-kota di Indonesia adalah ‘konsep konektor’ ruang terbuka. Apa maksudnya, maksudnya adalah bahwa tiap bentuk hutan kota yang terdapat di suatu kota harus diupayakan agar terhubung satu sama lain, misalnya antara satu taman kota dan taman kota yang lainnya dihubungkan dengan bentuk hutan kota menjalur (RTH pinggir jalan). Jika disepanjang pinggir jalan yang menghubungkan taman-taman/hutan-hutan kota yang ada dibangun ruang terbuka hijau niscaya akan tercipta kesan kuat kota yang lebih hijau. Penduduk kota mana yang tidak senang jika dapat berjalan dari suatu hutan/taman kota yang satu ke lainya hanya dengan berjalan kaki, jogging atau bersepeda melalui jalur hijau yang menghubungkan keduanya. Selain itu bagi para pejalan kaki dan pengguna angkutan massal seperti bis, menunggu kedatangan bis sambil berteduh di bawah rindangnya pohon yang berada di sepanjang pinggir jalan akan sangat menentramkan karena panas akumulatif yang dihasilkan kota terasa berkurang.
Bagi siapapun, dimanapun, kapanpun dan pada tingkatan apapun di masyarakat hendaknya mempunyai kesadaran bahwa menciptakan suatu kota yang ‘hijau’ bukanlah suatu pemikiran yang utopis, hal itu dapat dimulai kapan saja ketika kita mau.

Jumat, Februari 06, 2009

Kota yang sakit

Saat ini perkembangan kota-kota besar di Indonesia (tiap ibukota provinsi) menuju ke arah tahap perkembangan yang sakit. dapat dikatakan demikian karena suatu kota yang pada awalnya dibangun untuk mewadahi setiap aktivitas yang dilakukan oleh penghuninya, lambat laun malah membentuk karakter dari tiap penghuninya.

pada awal berdirinya karakter kota ditentukan dan direncanakan oleh para perencana kota, namun akibat kurangnya kontrol terhadap visi dasar dalam pembangunan kota, jauh setelah kota berkembang malah sebaliknya kota yang membentuk karakter para penghuni yang tinggal di dalamnya:).

Misalnya, jika pada awalnya kota dibangun dengan karakter utama perdagangan, maka jauh setelah karakter utama ini berkembang namun tidak terdapat kontrol yang sesuai terhadap aktivitas yang berjalan, maka timbul gejala-gejala anti sosial, aktivitas perdagangan di kota yang keras tersebut menyebabkan praktek perdagangan gelap, premanisme, pemerasan, kriminalitas ala mafia dan sebagainya menjadikan generasi berikutnya yang tumbuh di kota tersebut menjadi generasi yang berwatak licik, suka mengambil kesempatan dalam kesempitan sesamanya untuk keuntungan sebesar-besarnya.

itu hanya merupakan satu contoh kecil, dan contoh pada karakter utama kota tadi (aktivitas perdagangan,red), berlaku pula untuk kota-kota lainnya dengan jenis karakter aktivitas utama yang berbeda, seperti pariwisata, jasa, tambang, dan lain sebagainya.

tak peduli seberapa bagusnya rencana yang dibuat oleh para perencana kota jika tidak adanya kesadaran dari tiap penghuni kota dalam mengendalikan laju perkembangan kota sesuai dengan visi yang dibawanya maka lambat laun secara tidak sadar kota tersebut akan membentuk perilaku dan watak penghuninya.

contoh kecil lainnya, perkembangan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun di kota menjadi kota terlihat sebagai "hutan beton", tidak ada kita jumpai hutan kota, ruang terbuka hijau baik di pinggir jalan, di sempadan sungai dan lain sebagainya, secara akumulatif suhu kota menjadi panas akibat sinar matahari yang jatuh ke permukaan bumi menjadi terpantul kembali ke atas dan membentuk "pulau panas / heat island" di atas kota. para penghuni kota merasakan panasnya, penduduk kota yang menggunakan angkutan kota pasti pernah merasakan bagaimana panasnya menunggu di dalam angkot sampai angkot penuh dengan penumpang:).

di tempat lain, kota yang dibangun dengan karakter utama sebagai kota pariwisata jika tak konsisten terhadap akar budaya nya hanya akan menghasilkan pariwisata yang berbau mesum, pada akhirnya generasi yang tumbuh berkembang di dalamnya terbentuk oleh karakter tersebut.

intinya perlu ada KESADARAN di tiap saat dan diwariskan ke generasi berikutnya tentang visi kota yang sebenarnya. lagi pula inti dari pembangunan adalah untuk mensejahterakan manusia di dalamnya bukan untuk menghancurkannya. dan ketika tiap stakeholderyang ada sudah memiliki kesadaran yang selaras maka langkah penting selanjutnya diperlukan action :) jangan hanya sadar namun tak dapat berbuat apa-apa.