Ads 468x60px

Senin, Agustus 25, 2008

Perencanaan Wilayah Kota

Perencanaan
Wilayah dan Kota
Urgensi, Relevansi,
Perkembangan, dan Ruang Lingkup





Urbanisasi: fenomena global


Semua kota di dunia dan di setiap peradaban tak pernah luput dari fenomena urbanisasi. Seiring berkembangnya kota sebagai pusat aktivitas maka daya tariknya semakin meluas terhadap perpindahan orang, barang dan jasa yang masuk dan keluar wilayah kota atau sekadar berputar dan berkembang di sekitar wilayah kota. Secara singkat, perpindahan dari wilayah desa (hinterland) ke wilayah kota ini jika tidak sedini mungkin diantisipasi oleh pemerintah kota maka dapat dipastikan di masa mendatang wilayah dan lingkungan kota tersebut akan menghadapi permasalahan-permasalahan sosial-ekonomi yang pelik.
Sudah menjadi rahasia umum pada masyarakat bahwa, kebanyakan perencanaan wilayah dan kota yang disusun oleh kita semua tidak berada dalam konteks visi jangka panjang yang kuat, sehingga ketika suatu masalah timbul atas perencanaan yang dilakukan hari kemarin atau hari ini, maka dapat dipastikan semua stakeholder yang ada akan ‘kagetan’ dan saling melempar tanggung jawab. Padahal jika kita mau merencanakan segalanya dalam kerangka jangka panjang wacana-wacana permasalahan kota, seperti salah satunya di atas (urbanisasi) niscaya dapat kita atasi bersama. Sedangkan produk rencana tata ruang jangka panjang yang dibuat seringkali terjadi penyimpangan dalam imlementasinya di lapangan dan evaluasi yang dilakukan hanya sekadar konfirmasi terhadap penyimpangan yang terjadi tanpa ada goodwill yang kuat untuk kembali meluruskan penyimpangan tersebut.
Kembali kepada fenomena urbanisasi, tentunya setiap anak negeri yang punya rasa kepedulian terhadap kemajuan negerinya perlu untuk bertanya pada dirinya sendiri, mengapa fenomena semacam ini dapat terjadi. Di jenjang pendidikan menengah kita semua pasti telah mendengar penjelasan semacam perbedaan tingkat kesejahteraan yang bisa diperoleh dengan tinggal di wilayah kota ketimbang di wilaya perdesaan. Semua alasan dapat digenerasi tapi, jika ditelaah umumnya alasan mayarakat yang menjadi pelaku urbanisasi berpangkal pada masalah ekonomi. Yah, keinginan untuk merubah hidup menjadi lebih baik.
Sudah sejak zaman dahulu kota-kota di nusantara menjadi daya tarik bagi terjadinya urbanisasi disebabkan tersedianya segala macam fasilitas hidup yang tidak bisa didapatkan di wilayah perdesaan. Akan tetapi proses pada akhirnya menimbulkan banyak permasalahan. Misalnya untuk wilayah kota, dengan timbulnya proses urbanisasi tersebut maka pemerintah yang ada perlu untuk memikirkan dan merencanakan penyediaan pusat-pusat permukiman dan perumahan baru serta infrastruktur pendukungnya utamanya bagi para pencari kerja di kota yang berprofesi sebagai tenaga kerja kelas bawah. Hal lain, akibat terbatasnya daya tampung lapangan kerja yang disediakan di kota maka banyak dari pencari kerja yang akhirnya tidak memiliki pekerjaan tetap sesuai yang diharapkan alias menjadi bagian dari pengangguran terbuka di kota. Berikutnya muncullah kegiatan sektor ekonomi informal dan muncul masalah kemiskinan.
Bagi wilayah perdesaan adanya proses urbanisasi tersebut semakin menegaskan kesan wilayah perdesaan (hinterland) sebagai wilayah terbelakang/marginal. Disebabkan wilayah perdesaan menjadi semakin sepi dari aktivitas perekonomian. Berikutnya terjadi penghisapan sumberdaya baik sumberdaya manusia (tenaga kerja) maupun sumberdaya alam (bahan mentah). Dampak lainnya akibat hal ini adalah di wilayah perdesaan terjadi penurunan kualitas lingkungan. Secara umum hubungan keruangan/kewilayahan antara desa-kota terjadi ketimpangan perkembangan dan ketidakseimbangan hubungan.


Diagram 1.
Inti masalah: KONFLIK


Perkembangan Awal Perencanaan


Perkembangan awal perencanaan kota-kota umumnya bersifat spesifik dan pragmatis, misalnya orientasi pada pemecahan masalah sanitasi lingkungan akibat industrialisasi di Inggris. Sedangkan di Indonesia fokus utama pada perencanaan fisik, yaitu rencana tata guna lahan atau RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang merupakan rencana cetak biru atau blue print plan (komprehensif dan jangka panjang). Proses awal ini menempatkan perencana kota (planners) dalam posisi sebagai seorang teknokrat kota.


Perencanaan Kontemporer


Dalam hal perencanaan yang disebutkan di atas, kota memasuki suatu tahapan di mana kompleksitas pemasalahan yang semakin bertambah. Antara lain disebabkan perkembangan taraf hidup dan pendidikan serta perkembangan teknologi (informasi). Tahapan ini juga ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerinta dalam perencanaan disebabkan semakin menguatnya aspek pemberdayaan masyarakat dan otonomi/kemandirian swadaya masyarakat dalam pembangunan. Namun di samping itu, sisi lainnya semakin menonjol yaitu keterkaitan yang kuat (interconnectedness) antara satu hal dengan hal lainnya. Juga munculnya/masuknya “disiplin” lain dalam teori perencanaan.


So apa sih perencanaan itu?

Sesungguhnya jika ada pertanyaan seperti ini maka jawabannya pasti berbeda-beda tiap individu, dikarenakan banyaknya pendapat tentang definisi perencanaan sebelumnya, saat ini dan mungkin yang akan datang. Bahkan untuk siswa sekolah menengah atas yang mendalami ilmu-ilmu pengetahuan sosial pun pasti sudah memiliki dasar tentang apa itu perencanaan dalam konteks perencanaan suatu wilayah kota. Dalam media blog ini saya hanya mengutip beberapa pendapat pakar sebagai berikut:
• Keeble (1956) bahwa, perencanaan merupakan seni dan ilmu menata penggunaan lahan, karakter dan letak bangunan dan jalur komunikasi sehingga memaksimalkan keinginan ekonomi, keindahan dan kesenangan
• Davidoff (1962), bahwa perencanaan merupakan proses menentukan tindakan masa depan yang sesuai dengan melalui seperangkat pilihan
• Faludi (1973), bahwa perencanaan merupakan prinsip-prinsip ilmiah untuk perumusan kebijakan.



Beda Perencanaan Kota dan Wilayah

Berbicara mengenai perbedaan di antara perencanaan kota dan wilayah memiliki penjelasan yang berbeda-beda di antara pakar-pakar, namun dapatlah disebutkan di sini beberapa perbedaannya bahwa antara perencanaan kota dan wilayah memiliki konteks permasalahan yang berbeda, tapi sebenarnya berkaitan. Kedua, perencanaan kota berkembang lebih dahulu ketimbang perencanaan wilayah. Ketiga, pada awalnya keduanya mempunyai fokus yang sama yaitu perencanaan fisik, keempat, kemudian perkembangan keduanya berbeda. Perencanaan kota lebih menekankan fisik dalam konteks sosial-ekonomi-politik, sedangkan perencanaan wilayah lebih menekankan aspek sosio-ekonomi dalam konteks ruang.
KOTA KITA


“…Awalnya Penghuni Kota membangun kota mereka untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi aktivitas-aktivitas mereka…Namun pada akhirnya justru kotalah yang membentuk tingkah laku dan karakter mereka…tanpa mereka sadari…”


Penggalan paragraf di atas menyiratkan bahwa setiap kota yang pada awalnya dibangun dengan salah satu tujuan sebagai wadah bagi berlangsungnya aktivitas penghuninya, lambat laun berdiri dan berkembang sendiri, sehingga nampak sirna kendali manusia di dalamnya atas perkembangan kota itu sendiri. Akhirnya kota tersebut yang justru membentuk perilaku manusia yang hidup kemudian di dalamnya.
Tak perlu jauh kita melakukan studi banding ke luar negeri, karena di sini, di depan halaman rumah kita sendiri, di tanah air kita sendiri, terlihat jelas bagaimana kota-kota yang kita bangun pada akhirnya yang mengendalikan arah karakter manusia yang hidup di dalamnya.
Karakter-karakter keras, individualis, vandalisme, anarki menjadi buah yang unggul dari proses tumbuh dan berkembangnya kota-kota kita. Jika hal-hal tersebut masih disangkal, mari kita tengok salah satu contoh dengan tingginya angka kriminalitas pada perkotaan di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Yogya, Medan, Makassar, dan mungkin di kota kita masing-masing.
Awalnya kita hanya menginginkan wadah yang sesuai bagi berlangsungnya aktivitas yang kita kerjakan masing-masing. Namun ketika sistem aktivitas manusia berkembang menjadi sedemikian rumit, desain sistem infrastruktur dan pergerakan di dalamnya menjadi usang, tak teratur dan tak mampu menampung aktivitas-aktivitas penghuninya lagi. Misalnya sistem transportasi kota yang rancangan kapasitas awalnya mampu memenuhi jumlah kendaraan di kota bersangkutan menjadi overload alias benar-benar kelebihan muatan.
Kota tak bisa dipandang hanya sebagai sederetan gedung-gedung dan penampakan fisik lainnya semata. Namun harus pula dipandang sebagai sebuah organisme yang bisa berkembang sendiri. Kenapa begitu, sebab manusialah atau penghuni kota tersebutlah yang menjadi elemen penting dalam perjalanan perkembangan kehidupan kota. Banyak pakar dapat menyebutkan bahwa sektor transportasi, perumahan, atau lainnya sebagai elemen penting, namun itu semua tanpa manusia yang menjalankannya tak akan berjalan. Semboyan dalam masyarakat kita sendiri “…itu semua kembali ke diri masing-masing...” nampaknya lebih terasa gaungnya.
Iya, sekadar contoh, orang dapat menyalahkan pemerintah karena seringnya terjadi banjir di kotanya, pemerintahpun dapat mempersalahkan warganya karena membangun di tempat-tempat resapan air atau di sebarang tempat yang dapat mengganggu resapan air. Namun jika kita boleh jujur pada diri masing-masing, sesungguhnya semua itu berpulang pada kehendak kita sendiri bagaimana kita hendak berbuat dengan apa yang kita miliki, entah tanah, air, hutan, sungai dan sebagainya.